Senin, 08 November 2010

Makalah Sejarah Pendidikam Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan Islam pada dulunya sangat mengalami kemajuan yang pesat, bahkan orang-orang Barat menjadikan Islam sebagai kiblat pendidikan mereka. Namun berikutnya justru bangsa Barat yang jauh lebih maju di bandingkan dengan ummat Islam. Hal ini disebabkan karena ketertinggalannya ummat Islam dalam bidang pendidikan, baik berupa metode, isi dan sistim pendidikan.

Oleh karena itu, ummat Islam merasa perlu mengadakan pembaruan dalam dunia pendidikan Islam. Pembaruan pendidikan Islam dilakukan diberbagai daerah seperti Saudi Arabia, Turki Utsmani, Mesir, India dan tempat-tempat lain.

B. TUJUAN PENULISAN

Makalah ini sengaja kami buat untuk memberikan pengetahuan dan menambah pengetahuan tentang pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan di daerah mesir, dan juga untuk mengetahui beberapa orang tokoh pembaharuan beserta pemikirannya.

Selain itu, makalah ini juga disusun untuk memenuhi nilai ujian mid- semester pada mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.

C. BATASAN MASALAH

Di dalam makalah ini, kami memaparkan pembaruan pendidikan yang dilakukan di Mesir yang mencakup latar belakang adanya pembaruan, tokoh-tokoh nya dan apa dampak dari pembaruan pendidikan islam tersebut khususnya didaerah Mesir.

BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG MUNCULNYA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI MESIR

Sejarah modernisasi pendidikan di Mesir sangat lekat dengan gerakan pembaharuan Islam. Hal ini karena hampir seluruh pelaku-pelakunya adalah tokoh-tokoh pembaharu agama. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan al-Banna, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Pasha, dan yang lainnya.

Secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaruan pendidikan islam, yaitu:

  1. Faktor kebutuhan pragmatis umat islam yang sangat membutuhkan satu sistem yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertakwa, dan beriman kepada Allah SWT.
  2. Agama Islam sendiri melalui ayat suci Al-Qur’an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berfikir serta selalu membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bisa menciptakan sesuatu yang baru dari apa yang kita lihat.
  3. Adanya kontak Islam dengan Barat.[1]

Dan secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798 M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah Timur, terutama India. Napolen Bonaparte menjadikan Mesir, hanya sebagai batu loncatan saja untuk menguasai India, yang pada waktu itu dibawah pengaruh kekuasaan kolonial Inggris.

Konon, kedatangan Napolen ke Mesir tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh orang diantaranaya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya), serta seribu orang sipil. Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama Institut d’Egypte, yang terdiri dari empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan polititik, serta ilmu sastera dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan (ulama’) Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai bahasa dunia.[2]

Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya, Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya tinggi Perancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama, banyak diantara cendekiawan Mesir belajar tentang perpajakan, pertanian, kesehatan, administrasi, dan arkeologi.

Ekspedisi Napoleon ke Mesir membawa angin segar dan perubahan signifikan bagi sejarah perkembangan bangsa Mesir, terutama yang menyangkut pembaharuan dan modernisasi pendidikan di sana. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perancis banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh Mesir untuk melakukan perubahan secara mendasar sistem dan kurikulum pendidikan yang sebelumnya dilakukan secara konvesional. Diantara tokoh yang mendapatkan inspirasi tersebut adalah Muhammad Ali Pasa dan Muhammad Abduh. Dua tokoh ini, secara historis, kiprahnya paling menonjol jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain.

B. TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI MESIR

Diantara tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan di mesir ini adalah:

1. Muhammad Ali Pasya

Biografi Muhammad Ali Pasa sangat luas diketahui oleh masyarakat karena banyak ditulis diberbagai buku biografi baik secara lokal maupun internasional. Beliau lahir di Kawallah, Yunani, pada tahun 1765, seorang keturunan Turki dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Tidak seperti anak-anak lain, masa kecilnya dihabiskan untuk membantu orang tuannya, dan tidak sempat mengenyam pendidikan.

Pada usia dewasa ia berkerja sebagai pemungut pajak, dan karena keberhasilannya, ia kemudian diangkat sebagai menantu oleh salah seorang gubernur Utsmani. Selanjutnya ia masuk dinas militer dan kariernya terus naik. Ketika pengiriman pasukan ke Mesir, ia diangkat sebagai wakil perwira yang mengepalai pasukan. Dalam pertempuran yang terjadi dengan tentara Perancis, ia menunjukkan keberanian yang luar biasa dan segera diangkat menjadi kolonel. Ketika tentara perancis ke luar dari Mesir pada tahun 1801, Muhammad Ali turut memerankan peranan penting dalam kekosongan politik akibat hengkangnya tentara Perancis tersebut.

Dalam waktu yang bersamaan, dari Istambul datang pula Pasa dengan bala tentara Utsmani untuk menguasai Mesir. Muhammad Ali dapat memenagkannya dan mengankat dirinya sebagai Pasa baru pada tahun 1805 dengan persetujuan penguasa Utsmai di Istambul Turki. Beliau berkuasa pada tahun 1805-1848.

Muhammad Ali Pasya sendiri merupakan orang yang buta huruf, meskipun demikian, beliau sangat menyadari akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan dan kekuatan suatu negara. Pemahaman ini beliau dapatkan dari cerita-cerita para pembesar yang berada di sekitarnya mengenai unsur-unsur dan hal-hal baru yang dibawa oleh ekspedisi Napoleon Bonaparte.

Dalam rangka memperkuat kedudukannya dan sekaligus melaksanakan pembaruan pendidikan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, mengadakan pembaruan dengan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran di Barat[3].

Di dalam pemerintahannya, beliau mendirikan kementerian pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan. Membuka Sekolah Teknik (tahun 1839), Sekolah Kedokteran (tahun 1827), Sekolah Apoteker (tahun 1829), Sekolah Pertambangan (tahun 1834), Sekolah Pertanian (tahun 1836), dan Sekolah Penerjemahan (tahun 1836)[4].

Masih dalam konteks melakukan upaya pembaruan dalam bidang pendidikan, Muhammad Ali Pasya juga mengirim siswa-siswa untuk belajar ke Italia, Perancis, Inggris, dan Austria. Menurut Pilip K. Hitti, antara tahun 1823-1844, ada sebanyak 311 pelajar yang dikirim oleh Muhammad ali pasya ke Eropa[5]. Hal ini dilakukan agar mereka yang diutus mampu menguasai ilmu pengetahun Barat, untuk selanjutnya nanti mampu dikembangkan dan direalisasikan di Mesir.

Serta dalam rangka mengalihkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang telah berkembang di Barat tersebut, Muhammad Ali Pasya menggalakkan penerjemahan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Sehingga beliau mendirikan Sekolah Penerjemahan pada tahun 1836.

Gerakan pembaharuan yang dibawanya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat kepada umat Islam, dan sampai pada suatu waktu dapat menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang sekaligus menjadi awal kelahiran para tokoh Muslim seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rsyid Ridho, Rifa’ah Badawi, Rafi’ al-Tahtawi, dan Hasan al Bana. Mereka merupakan ulama-ulama yang berpengetahuan luas, berwawasan modern dan tidak berpandangan sempit.

Adapun usaha-usaha yang dilakukannya Muhammad Ali Pasya dalam rangka pembaruan pendidikan Islam di Mesir adalah:

a. Mendirikan kementerian pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan untuk mengurus permasalahan pendidikan,

b. Mendirikan sekolah-sekolah,

c. Mengadopsi tata cara dan model pendidikan barat,

d. Mendatangkan guru dan tenaga ahli dari Barat, terutama Perancis,

e. Mengirim siswa-siswa ke Barat untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

f. Mengadakan penerjemahan buku-buku.

2. Al-Tahtawi

Al-Tahtawi dilahirkan pada tahun 1801 di Tanta, suatu kota yang terletak di bagian selatan Mesir. Ia berasal dari keluarga berekonomi lemah. Dimasa kecilnya Al-Tahtawi terpaksa belajar dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun ia berkesempatan untuk belajar di Al-Azhar Kairo. Setelah menyelesaikan studinya ia mengajar disana selama 2 tahun, kemudian diangkat menjadi imam mahasiswa yang belajar dan dikirim oleh Muhammad Ali Pasya ke Paris.

Dalam masa tugasnya ia memanfaatkan waktunya untuk belajar dan membina pengalaman sebanya-banyaknya dengan membaca buku-buku sejarah tekhnik, ilmu bumi dan politik karangan Montesquieu, Voltaire, rousseau racine. Ia mendapat banyak kesan selam ia bedra di paris sehingga kesan yang didapatnya tu ia tuangkan dalam sebuah buku Talkhish Al-Ihriz Fi Talkhis Bariz. Buku itu mengisahkan pengalaman ia selama berada diperis dan juga berisi seputar kehidupan dan kemajuan eropa yan dilihatnya selama di Paris.

Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putra-putri yang cerdas.

Bagi Al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.[6]

Dalam proses belajar mengajar, Al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik. Dengan demikian, dipahami bahwa Al-Tahtawi sangat memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.

3. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharuan paruh kedua abad XIX. Beliau lahir dan besar dilingkungan pedesaan dalam keluarga bukan pendidik yang memegang teguh ajaran agama. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H di sebuah desa di Propinsi Gharbiyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah, lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr. Situasi politik yang tidak stabil menyebabkan orang tuanya berpindah-pindah, dan kembali ke Mahallaj Nashr setelah situasi politik mengizinkan.

Masa pendidikannya dimulai dengan pelajaran dasar membaca dan menulis yang didapatkannya dari orang tuanya. Kemudian sebagai pelajaran lanjutan beliau belajar Al Qur’an pada seorang hafiz. Dalam masa waktu dua tahun, beliau telah menjadi seorang hafiz. Pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Thanta, sebuah lembaga pendidikan Masjid Ahmadi[7].

Ia belajar kepada Syaikh Ahmad di Thantha pada tahun 1862. Dan pada tahun 1866 ia meneruskan pendidikannya di al-Azhar. Di sini ia berjumpa dengan Jamaluddin al-Afghani kali pertama dan menjadi muridnya pada tahun 1871 sewaktu menetap di Mesir.

Pada tahun 1877 ia berhasil menyelesaikan studinya di al-Azhar dengan mendapatkan gelar ‘alim dan mengajar di sana. Tidak lama kemudian ia bersama-sama dengan gurunya diusir dari Mesir karena kasus politik. Pada tahun 1880 ia kembali lagi ke Mesir dan diangkat menjadi redaktur Waqa’iul Mishriyyah, surat kabar resmi pemerintah Mesir. Kariernya terus menanjak, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Majlis al-‘Ala al-Azhar pada tahun 1894. Pada saat inilah ia banyak melakukan perombakan dan perbaikan secara mendasar terhadap al-Azhar menjadi Universitas.[8]

Menurutnya, umat Islam mengalami problem autentisitas Islam yang dianutnya. Hal ini menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran. Islam yang dianut umat bukanlah Islam yang sebenarnya. Untuk meraih kejayaannya kembali harus ada kesadaran untuk kembali kepada Islam sejati, Islam era klasik. Disamping juga melakukan gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam berbagai hal termasuk pendidikan.

Dari Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh mendapat warisan pendidikan yang timpang, yaitu adanya dua tipe pendidikan. Dua tipe pendidikan tersebut adalah:

a. Sekolah-sekolah agama, dengan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tinggi.

b. Sekolah-sekolah modern

Kedua tipe tersebut tidak tidak punya hubungan antara satu dengan lainnya, masing- masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya. Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional baik dalam kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkan. Ilmu barat tidak diberikan di sekolah-sekolah agama (madrasah), dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan perkembangan jiwa yang lain.

Sosok Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif dari kedua bentuk corak pendidikan tersebut. Beliau memandang bahwa pendidikan dengan tipe pertama tidak dapat dipertahankan lagi, jika dipertahankan juga, menyebabkan ummat Islam akan tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran kedua justru adanya bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari sanalah Muhammad Abduh melihat pentingya mengadakan perbaikan di dua instansi tersebut, sehingga jurang yang lebar bisa di persempit.

Dia juga mengatakan, umat Islam harus dinamis. Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Kemajuan Islam sebagaimana yang pernah dicapai pada masa-masa keemasannya adalah karena mementingkan pengetahun. Yang berarti memberikan porsi yang besar bagi akal untuk memahami ayat-ayat Tuhan, baik ayat qauliyah maupun kauniyah.[9]

Situasi yang demikian melahirkan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang pemikiran formal dan nonformal. Dalam bidang pendidikan formal tujuannya yang utama adalah menghapuskan dualisme pendidikan yang tampak dengan adanya dua tipe pendidikan seperti di atas. Untuk itu, beliau bertolak dari tujuan pendidikan yang dirumuskan sebagai berikut:

a. Mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat,

b. Juga mementingkan pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berpikir dan punya akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih.

Menurut pandangan beliau, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu poengetahuan itu wajib dipelajari. Sehingga beliau selalu memikirkan bagaimana alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapi sekolah agamanya di Mesir, yakni di Azhar. Abduh berpendapat bahwa pendidikan yang diamatinya cenderung menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumud[10], tidak transparan, statis, tidak ada perubahan. Hanya dengan meningkatkan mutu pendidikan Islam dan mengemukakan kembali ajaran-ajaran dasar Islam dengan bahasa yang jelas dan tegas, dan pengharuh-pengaruh yang merusak, dapat keluar dan lenyap.

Adapun kurikulum-kurikulum yang disusun oleh muhammad abduh, yaitu:

a. Kurikulum Al-Azhar

Kurikulum Perguruan Tinggi Al-Azhar disesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, beliau memasukkan filsafat, logika dan ilmu peengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.

Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di Al-Azhar. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.

Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern sebagai syarat menguasai IPTEK guna kelansungan pembangunan Islam ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama sebagai bekal tuntunan dan perbaikan moralitas ummat, di sekolah-sekolah pemerintah, paling tidak akan bisa melahirkan para ilmuan yang tidak kosong akan ilmu pengetahuah agama, dan juga akan terwujud ulama-ulama yang tidak buta akan ilmu pengetahuan umum, sehingga para lulusan Sekolah Pemerintah muapun al-Azhar tidak lagi parsial dalam memahami ilmu[11].

b. Tingkat Sekolah Dasar

Beliau beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran.

Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama (Islam) merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, rakyat Mesir akan memiliki juiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.

c. Tingkat Atas

Upaya yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan mendirikan Sekolah Menengah Pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan dan sebagainya. Melalui lembaga ini, beliau merasa perlu untuk memasukkan beberapa materi, khususnya pendidikan agama. Sejarah Islam dan kebudayaan Islam. Di madrasah yang berada di bawah naungan Al-Azhar, Abduh mengajarkan Ilmu Mantiq, Falsafah dan Tauhid.

Dalam metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu, ia mengkritik dengan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang dipraktekan terutama di sekolah agama. Dari apa yng dipraktekannya ketika mengajar di al-azhar terlhat bahw ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam pada muridnya. Dan ia memperingatkan kepada para pendidik untuk tidak menggunakan metod menghafal dalm mengajar karena itu hanya akan merusak daya nalar anak.[12]

Pemikirannya yang lain adalah tentang pendidikan wanita. Menurutnya, wanita haruslah mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Bagi nya yang harus diperjuangkan dalam suatu sistem pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama.

Di luar pendidikanpun Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Di samping itu, Abduhpun menggalakkan ummat Islam mempelajari ilmu-ilmu modern. Dalam hal ini beliau melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas para pendakwah tersebut adalah:

a. Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar

b. Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui, dan

c. Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air dan pemimpin.

Adapun agenda-agenda pembaruan pendidikan islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah:

a) Purifikasi

Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan seriusa dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya Bid’ah dan Khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum Muslimin

b) Reformasi

Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Abdduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar. Beliau menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahsa Arab yang berisi dogma Ilmu Kalam untuk membela Islam saja, akan tetapi kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.

c) Pembelaan Islam

Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa dia tetap yakin denga kemandirian Islam. Beliau terlihat tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filasafat anti agama yang marak di Eropa. Dia lebih tertarik memperhatikan serangan-serangan terhadap agama Islam dari sudut keilmuan. Beliau berusaha mempertahankan potret Islam dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang di capainya otomatis akan selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.

d) Reformulasi

Agenda reformulasi trersebut dilaksanakannya dengan membuka kembali pintu ijtihad. Beliau dengan reformulasinya mengaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya. Manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang.[13]

4. Rasyid Ridha

Rasyid Ridha adalah nama populernya, adapun nama lengkapnya adalah Muhammad rasyid bin ali ridha bin Muhammad syama al bin al-kalamuny. Ia hidup dalam keluarga dan lingkungan yang mengutamakan ilmu pengetahuan.

Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka. Beliau juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.

Dalam bidang pendidikan ia mengadakan perubahan-perubahan dengan melakukan penambahan materi-materi pengetahuan pendidikan teknologi barat agar umat islam mamou menggunakan teknologi. Bahkan ia menyatakan pembangunan sarana pendidikan lebih baik dripada pembangunan mesjid. Menurutnya mesjid tidak besar nilainya apabila mereka yng shalat didalamnya hanya orang-orang bodoh. Akan tetap dngan membangunn sarana pendidikan akan dapat menghapuskan kebodohn. Dengan begitu, pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik.

Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad.Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.

5. Jamaluddin al-Afgany

Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani bin Safdar, lahir di As’adabad dekat Qanar didaerah Kabul Afghanistan tahun 1839 M. ditinjau dari silsilahnya al-Afghani berasal dari keturunan bangsa arab karena nenek moyangnya berasal dari dari seorang perawi hadist yang termasyur yaitu al-Tirmidzi.

Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.

Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.

Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.

6. Ali Mubarak

Ali Mubarak dipandang sebagai peletak dasar dari Laihah Rajab, semacam rencana pendidikan yang terpadu bagi bangsa Mesir yang berdasarkan kerakyatan dengan sasaran pengembangan lembaga pendidikan, penelitian lembaga pendidikan di daerah dan penerbitan administrasi pendidikan yang dipusatkan di kantor pemerintah daerah.

Sebagai hasil dari Laihah Rajab itu, lembaga-lembaga pendidikan berkembang dengan pesat, baik kualitas maupun kuantitas, tetapi keasliannya tetap terpelihara. Pada perkembangan selanjutnya mendapat pengakuan yang wajar dari pemerintah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

7. Thaha Husain

Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.

Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.

Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.

Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan belajar efektif dalam belajar yang sesungguhnya.

C. DAMPAK PEMBARUAN PEDIDIKAN ISLAM DI MESIR

Beberapa dasawarsa setelah gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir Mesir di atas, negeri ini dijadikan contoh yang paling menonjol mengenai dinamika keberagaman, hubungan antar agama dan masyarakat, tantangannya pada negara dan dampaknya pada proses demokratisasi.

Mesir juga tempat lahirnya nasionalisme Arab dan kebangkitan Islam di bawah tiga pemimpin terakhir, yaitu Gammal Abdul Nasser (1918 – 1970 M), Anwar Sadat (1918 – 1981 M), dan Husni Mubarak (lahir 1928 M.

Dalam dekade selanjutnya gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir menampakkan perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai gagasan dan gerakan yang berbeda dengan sebelumnya dalam berbagai bidang misalnya:

1. Bidang sosial politik dengan munculnya gagasan Trias Politika, patriotisme, emansipasi wanita, dan juga persatuan umat Islam seluruh dunia dalam rangka membendung pengaruh-pengaruh dunia Barat yang berusaha merongrong Islam dan kaum muslimin yang diwujudkan dengan berbagai gerakan sosial;

2. Bidang pendidikan dengan memunculkan gagasan bahwa semua bangsa Mesir harus mengenyam pendidikan secara merata, yang diupayakan lewat penataan kembali sistem pendidikan;

3. Bidang agama dan teologi dengan munculnya gagasan pemurnian ajaran Islam, menghilangkan kejumudan berpikir dan sikap fatalistik yang merupakan penyebab pokok kemunduran umat Islam; dan lain-lain, tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh tidak hanya di Mesir, tetapi juga seluruh dunia khususnya Islam. Mereka antara lain Rif’ah Badwi Raf’i al-Tahtawi, Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan beberapa pengikutnya[14].

Jadi, upaya-upaya pembaruan yang dilakukan tesebut, telah memajukan pendidikan ummat Islam seperti kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaruan pendidikan islam, yaitu:

  1. Faktor kebutuhan pragmatis umat islam yang sangat membutuhkan satu sistem yang betul-betul bisa dijadikan rujukan.
  2. Agama Islam sendiri menyuruh umat Islam untuk selalu berfikir serta selalu membaca dan menganalisis sesuatu.
  3. Adanya kontak Islam dengan Barat

Dan secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798 M.

Pembaharuan pendidikan di daerah Mesir ini dilakukan oleh beberapa orang tokoh, diantaranya:

1. Muhammad Ali Pasya

2. Al-Tahtawi

3. Muhammad Abduh

4. Rasyid Ridha

5. Jamaluddin al-Afgany

6. Ali Mubarak

7. Thaha Husain

Setelah gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir Mesir di atas, negeri ini dijadikan contoh yang paling menonjol dan upaya-upaya pembaruan yang dilakukan tesebut, telah memajukan pendidikan ummat Islam seperti kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat.

B. Saran

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi, maupun dari segi pengetikan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun, supaya kami tidak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut dalam makalah kami berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Nata, Abuddin. 2010. Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana

Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media

Zuhairini, dkk. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

http://id.wordpress.com/tag/ridha

http://arabecanuha.blog.com/2009/06/ Sejarah Modernisasi Pendidikan Mesir/



[1] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 165

[2] http://arabecanuha.blog.com/2009/06/ Sejarah Modernisasi Pendidikan Mesir/

[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 120

[4] Suwito, Op.cit, h. 172

[5] Ibid

[6] http://id.wordpress.com/tag/ridha

[7] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 240

[8] http://arabecanuha.blog.com/2009/06/ Sejarah Modernisasi Pendidikan Mesir/

[9] Ibid

[10] Lihat Kamus Bahasa Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus halaman 90. Jumud berarti tiada bergerak atau kolot. Berari penduduk yang pkirannya masih kuno dan terpaku kepada tradisi lama.

[11] Suwito, Op. Cit, h. 173

[12] Samsul Nizar, Op.Cit, h.250

[13] Ibid, h. 247

[14] http://id.wordpress.com/tag/ridha

Senin, 25 Oktober 2010

Kisah Tentang Wortel, Telur dan Bubuk Kopi

Panaskan 3 buah panci berisi air diatas api

Pada panci yang pertama, masukkan beberapa buah wortel

Pada panci yang kedua, masukkan beberapa buah telur

Pada panci yang ketiga, masukkan beberapa biji kopi yang sudah dihaluskan menjadi bubuk kopi

Panaskan ketiga panci tersebut selama 15 menit

Keluarkan isi dari ketiga panci tersebut

Wortel yang sebelumnya keras,

Sekarang berubah jadi empuk

Telur yang sebelumnya lunak

di bagian dalamnya, sekarang

menjadi keras

Bubuk kopi sudah menghilang

Tapi, air panas sudah berubah warnanya dan mempunyai bau kopi yang sangat harum

Sekarang pikirkan tentang Pekerjaan

Pekerjaan itu tidak selamanya mudah

Pekerjaan itu tidak selamanya nyaman

Bahkan kadang-kadang pekerjaan menjadi sangat susah

Keadaan tidak berubah seperti yang kita inginkan

Orang-orang tidak memperlakukan kita seperti yang kita harapkan

Kita bekerja sangat keras, tapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan

Apa yang terjadi pada saat kita menghadapi kesulitan?

Sekarang pikirkan tentang ketiga panci itu?

Air yang mendidih bagaikan masalah di pekerjaan kita.

Kita dapat menjadi seperti wortel

Kita maju dengan kuat dan tegas.

Tapi kita keluar dengan lemah dan lunak

Kita menjadi sangat lelah

Kita kehilangan harapan

Kita menyerah

Hilanglah semangat juang di diri kita

Jangan mau menjadi wortel!!!

Kita dapat menjadi seperti telur.

Kita memulai dengan hati yang tulus dan sensitif

Kita berakhir dengan sangat egois dan cuek

Kita membenci orang lain

Kita membenci diri kita sendiri

Tidak ada lagi kehangatan di diri kita

Jangan mau menjadi telur!!!

Kita dapat menjadi Bubuk Kopi.

Air tidak mengubah bubuk kopi

Bubuk kopi yang mengubah air

Air menjadi berubah karena adanya bubuk kopi

Lihatlah.

Ciumlah.

Minumlah.

Makin PANAS airnya, makin ENAK rasanya.

Kita dapat menjadi Bubuk Kopi

Kita membuat sesuatu yang baik dari tantangan yang kita hadapi.

Kita belajar hal-hal baru.

Kita mempunyai pengetahuan baru, ilmu baru dan skill baru

Kita tumbuh bersama pengalaman

Kita membuat dunia di sekeliling kita menjadi LEBIH BAIK

Untuk berhasil, kita harus coba …. dan coba lagi

Kita harus percaya pada apa yang kita kerjakan.

Kita tidak boleh menyerah.

Kita harus sabar.

Kita harus tetap bersemangat

Masalah dan kesulitan memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi lebih kuat… dan lebih baik… dan lebih mampu.

Jadi, kita akan menjadi apa setelah membaca cerita ini?

Menjadi seperti wortel…

atau telur…

atau biji kopi?

Jadilah seperti BIJI KOPI