Selasa, 22 Juni 2010

Malpraktek Dunia Pendidikan ( Proses Penilaian Pendidikan )

A. PENILAIAN

Di sebuah kelas terlihat seorang guru yang begitu sibuknya menjejali siswa dengan berbagai hafalan yang merupakan tuntutan kurikulum. Setelahnya terlihat betapa sang guru begitu disibukkan dengan penilaian yang panjang dan melelahkan ( apalagi siswanya). Guru disibukkan dengan penilaian dari semua hal yang dikerjakan siswa dalam proses belajar dengan dalil penilaian proses. Belum lagi pemberian PR dan latihan-latihan soal dengan alasan untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap sebuah kompetensi yang harus dikuasainya. Ditambah tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa yang katanya untuk menilai kinerja ataupun performa siswa. Selanjutnya siswa mengikuti test formatif setiap akhir dari satu bab pembelajaran yang berisi beberapa indikator. Alih-alih sebagai alat ukur seberapa jauh tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap kompetensi dan indikator tersebut. Dan akhirnya proses ini disempurnakan dengan test sumatif pada setiap akhir term dengan tujuan melihat penguasaan standar kompetensi yang seharusnya dikuasai siswa. Semuanya masuk ke dalam proses penilaian rapot.

Outputnya adalah sebuah deretan panjang proses penilaian terhadap siswa yang terdiri dari Test Harian / LK + test formatif + performa + tugas / PR + Test Sumatif = Siswa cerdas atau siswa bodoh. Jika nilainya baik maka baiklah masa depan anak itu. Jika nilainya jelek maka suramlah masa depan anak itu.

Sudah saatnya kita meninggalkan sistem penilaian dan evaluasi pembelajaran semacam ini. Ada beberapa alasan yang dapat saya ungkapkan terkait masalah ini :

1.Penilaian semacam ini tidak memberikan siswa ruang untuk berbuat kesalahan. Mengapa?. Karena setiap kesalahan yang ia lakukan dalam mengerjakan setiap test diatas langsung berpengaruh kepada nilai rapot.

2.Output dari proses penilaian di atas mengarah kepada labeling dan cap stempel pada diri siswa. Siswa cerdas atau bodoh.

3.Muncul peng”kasta”an siswa. Low, middle, atau high. Apalagi jika ditambah dengan perangkingan.

4.Siswa dan guru terobsesi untuk pencapaian nilai.

5.Terjadinya distorsi makna belajar.

MALPRAKTEK 1# Siswa sekolah untuk belajar bukan untuk dinilai

Hal ini bukan berarti penilaian tidak penting dalam sebuah proses belajar di sekolah. Penilaian dan evaluasi belajar merupakan bagian penting dari proses pembelajaran. Namun orientasi penilaian bukan sekedar siswa mencapai poin nilai standar tetapi sebagai perangkat untuk membantu siswa melalui tahap belajarnya. Juga menjadi bahan evaluasi guru menilai efektifas dari metode, gaya, dan cara pengajaran yang ia terapkan. Dengan penilaian tersebut guru dapat mencoba cara lain atau pendekatan lain yang dimengerti siswa dalam memahami sebuah kompetensi. Sekolah yang berorientasi masa depan tidak menjadikan semua hal yang dikerjakan siswa dalam proses belajar, PR, ulangan harian atau LK harian, test formatif sebagai komponen dari sistem grading atau penilaian di akhir term. Jika siswa salah dalam mengerjakan ulangan harian, LK, PR harian ataupun formatif maka tidak dimasukkan sebagai bahan penyusunan nilai rapot. Melainkan sebagai feed back bagi anak dan guru untuk mengubah atau meningkatkan cara belajar dan pengajarannya.

Inilah hakikat belajar. Belajar adalah sebuah proses memahami. Hak siswa untuk diantarkan mencapai pemahaman tersebut. Bukan sekedar dinilai kalau mampu memahami berarti cerdas dan alhamdulilllah, dan jika jelek tidak diberikan lagi haknya untuk mencapai tingkat pemahaman yang utuh dan tuntas. Padahal tanggung jawab seorang guru, dan tentu sekolah, mengantarkan siswa terhadap sebuah pemahaman yang utuh dan tuntas. Kesalahan mungkin terjadi, tapi terus diikuti umpan balik.

Jadi penilian dilakukan dalam rangka mengetahui di posisi mana siswa berada. Untuk menetapkan posisi siswa dapat diterapkan sistem penilaian Introduced ( I ), Progressing (P), dan Mastery (M). I menandakan siswa baru berada pada posisi belajar atau tahapan proses memahami. P menandakan siswa telah memahami dan dalam proses melatih dan menyempurnakan pemahamannya. M siswa telah mampu mengobservasi dan siap berpindah pada tahapan selanjutnya. Barulah pada akhir term (semester atau cawu) dilakukan evaluasi akhir atas siklus pembelajaran yang telah berlangsung. Sekali lagi, evaluasi sumatif ini tidak bertujuan untuk menggolong-golongkan siswa, tetapi sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana proses belajar itu berlangsung. Juga sebagai alat evaluasi guru mengukur efektifitas pengajarannya.

Mengapa penilaian dilakukan di akhir ?.

A. Davies dalam bukunya Making, Classroom Assesment Work mengibaratkan penilaian layaknya latihan terjun payung. Anak yang cemerlang dalam proses latihan namun kinerjanya dan pemahamannya berkurang di akhir masa pelatihan tidalah lebih baik dibanding seorang siswa yang awal latihan buruk, namun karena selalu mendapat umpan balik dari setiap kesalahannya, mendapat masukan dan bimbingan dengan berbagai cara dan metode yang dipahami dirinya, siswa dengan kesungguhan usahanya kemudian tampil cemerlang di akhir masa pelatihan. Sebagai guru jika diminta pilihanya anda akan memilih yang mana ?

Nah, jika tujuan siswa bersekolah mendapatkan nilai yang cemerlang, atau setidaknya melampaui standar nilai minimal, rasanya institusi sekolah tidak cocok untuk itu. Mendingan tuh anak dimasukan ke BIMBINGAN BELAJAR saja. Kan sesuai dengan moto bimbingan belajar, “ Meningkatkan Prestasi Belajar ( baca : NILAI MATA PELAJARAN )”. Karena sekali lagi, belajar adalah proses.



Rabu, 09 Juni 2010

Ibrah Dari Kekuatan Nabi Musa As

TUGAS
QASHASH AL-QUR’AN
Tentang
KEKUATAN TENAGA, FISIK DAN MENTAL
NABI MUSA AS




Oleh:
Alex Sandra
409.052

Dosen Pembimbing:
Dr.Risman Bustamam, M.Ag


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI-B)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
2010 M / 1431 H

KEKUATAN TENAGA, FISIK DAN MENTAL
NABI MUSA AS
(QS. Al Qashash : 14-17)

I.Pendahuluan

Kita sama-sama mengetahui bahwa didalam Al-Qur'an terdapat banyak pelajaran-pelajaran yang dapat kita ambil dan kita jadikan pedoman dalam kehidupan kita.Salah satu pelajaran yang dapat kita pahami yaitu pelajaran yang berasal dari kisah-kisah yang terjadi pada zaman dulu yang diceritakan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an Al Karim
Banyak sekali kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang kita jumpai yang berhubungan dengan para nabi dan rasul terdahulu. Diantaranya adalah kisah Nabi Musa As, dan dari kisah-kisah Nabi Musa As ini banyak sekali pelajaran ataupun ibrah yang dapat kita ambil. Salah satunya yaitu kisah beliau ketika menolong dua orang yang berkelahi yaitu seorang dari kelompok Fir'aun (kaum Qitbi) dan seorang dari kaumnya (Bani Israil )
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengurai bagaimana kisah tersebut sebenarnya agar dapat kita jadikan pedoman bagi kita dalam mengarungi kehidupan kita diatas dunia ini.

II. Lafadz Ayat dan Terjemahan
Surat Al-Qashash Ayat 14-17
14.Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
15.Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah[1115], Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang ber- kelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan[1116] Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).
16.Musa mendoa: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah menganiaya diriku sendiri Karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
17.Musa berkata: "Ya Tuhanku, demi nikmat yang Telah Engkau anugerah- kan kepadaku, Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang- orang yang berdosa".

III.Analisis Unsur-unsur Kisah
Dari ayat diatas dapat kita analisa beberapa unsur kisah yang ada dalam kisah tersebut, diantaranya:
1.Tokoh
Diantara tokoh-tokoh yang dapat dianalisa dari kisah tersebut adalah :
 a. Nabi Musa As
 b. Seorang laki-laki dari golongannya (Bani Israil)
 c. Seorang laki-laki dari musuhnya (kaum Fir'aun)
2.Alur
Dari kisah diatas ddapat kita analisa bahwa kisah diatas menggunakan alur maju. Dimana kisah diceritakan secara runtut dari awal sampai akhir kisah.
3.Latar
Ada 2 macam latar yang menonjol dari kisah tersebut, yaitu :
Latar Tempat
Kisah tersebut terjadi pada sebuah kota. Didalam ayat dikatakan,” Dan Musa masuk ke kota (Memphis) (QS. Al Qashash:15)
Latar waktu
Kisah tersebut terjadi pada waktu Musa sudah menginjak dewasa yang didalam ayat disebutkan,” Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya” (QS. Al Qashash:14) yaitu ketika penduduknya sedang lengah (QS. Al Qashash:15). Sedang lengah disini bisa kita tafsirkan yaiut ketika penduduk sedang beristirahat pada waktu tengah hari atau sekitar jam 12.00-14.00 WIB jika kita umpamakan dengan waktu didaerah kita.

IV.Analisa fokus / Tafsir Surat
1. Musa Membunuh Lawannya dengan Sekali Pukulan
Dari surat diatas dapatlah kita analisa bahwa, pada suatu hari Musa menyelinap masuk ke kota tanpa diketahui orang banyak, yaitu ketika orang-orang sedang tidur siang hari sesudah waktu Zuhur.
Sesuai dengan firmannya: "wadakhla" /dia masuk ke kota” (ayat 15)memberikan kesan bahwa kerajaan Fir’aun berada di luar kota, dan dikukuhakan dengan firman-Nya pada ayat 20 yang menyatakan: datanglah dari ujung kota seorang laki-laki.
Dia melihat dua orang laki-laki yang sedang berkelahi yang seorang adalah dari kaum Bani Israel dan seorang lagi dari bangsa Qibti, penduduk asli negeri Mesir yang dianggapnya sebagai musuhnya karena mereka selalu menghina dan menganggap rendah golongan Bani Israel. Salah seorang dari kaumnya itu berteriak meminta tolong untuk melepaskannya dari kekejaman lawannya.
Kata "Fastaghsahu" (ayat 15) yang terambil dari kata Ghauts yaitu pertolongan untuk menampik kesulitan atau bahaya.. Di waktu itu timbullah amarahnya dan bangkitlah rasa fanatik kepada kaumnya. Maka ia memburu orang Israel itu dan tanpa memikirkan akibat perbuatannya, karena amarahnya, dipukulnya orang Qibti itu. Sesuai dengan kata "wakaza" (ayat 15) yang terambil dari kata “al-Wakz” yaitu memukul dengan kepala tangan / meninju. Konon, pukulannya itu mengenai dada korban, akibat pukulan yang dahsyat itu orang Qibti rubuh ke tanah, tidak bergerak lagi, karena ia sudah mati.
2. Penyesalan Nabi Musa As
Sebenarnya Musa tidak sekali-kali bermaksud hendak membunuhnya, tetapi ternyata orang itu sudah mati dengan sekali pukulan saja Musa amat menyesal atas keterlanjurannya itu dan menganggap tindakannya itu adalah tindakan yang salah, tindakan yang tergopoh-gopoh, dan dia berkata kepada dirinya sendiri. "Perbuatanku ini adalah perbuatan setan yang selalu memperdayakan manusia agar melakukan kelaliman dan maksiat Sesungguhnya aku telah terperosok masuk perangkap setan yang menjadi musuh manusia yang selalu berusaha untuk menyesatkannya.
Dan ketidaksengajaan itu dikesankan dengan kata (faqadhaalaihi)(ayat 15) yang maksudnya adalah mematikannya, bukan dengan menyatakan fa qatalahu/ maka dia membunuhnya.
Sayyid Quthub berpendapat bahwa penilaian Musa as bahwa apa yang terjadi itu sebagai perbuatan setan disebabkan karena beliau sadar bahwa yang dilakukannnya itu dalah karena dorongan fanatisme kesukuan yang tidak wajar dilakukan, padahal dia adalah seorang yang terpilih menjadi seorang rasul dan terpelihara oleh allah swt.
Di kala itu ia memohonkan ampun kepada Tuhannya, seraya berkata, "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah Menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku". Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya, mengampuni kesalahan Musa itu, dan dengan pengampunan itu tenteramlah hati Musa dan bebaslah dia dari kebimbangan dan kesusahan memikirkan nasibnya karena melakukan perbuatan dosa itu. Memang pengampunan itu adalah rahmat dan karunia dari Allah. Di antara karunia-Nya yang banyak kepada Musa sebagai tersebut dalam firman-Nya yang Artinya: (yaitu) Ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia Berkata kepada (keluarga Fir'aun): "Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan kami Telah mencobamu dengan beberapa cobaan; Maka kamu tinggal beberapa tahun diantara penduduk Madyan, Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan Hai Musa,
Karena dosanya telah diampuni Tuhan barulah dia merasa lega dan menyadari bahwa pengampunan itu adalah karena rahmat dan karunia Tuhannya yang diberikan kepadanya. Dia berjanji bahwa dia tidak akan melakukan kesalahan itu lagi dan tidak akan menjadi pembantu bagi orang yang melakukan kesalahan apalagi bantuan itu akan membawa kepada penganiayaan atau pembunuhan.
Selanjutnya Nabi Musa as mempersembahkan puji-pujian kepada Allah atas nikmat-nikmat yang diperolehnya selam ini. Dia berkata : Tuhanku, demi dan dusebabkan apa, yakni aneka nikmat dan anugerah yang selama ini telah engkau anugerahkan kepadaku sejak aku dalam perut ibunku, hingga pengampunan-Mu ini, demi semua itu, aku tidak akan menjadi penolong bagi para pendurhaka,(ayat 17)
V.Kesimpulan : Pelajaran atau Ibrah
Dari kisah yang diceritakan dalam al-qur’an tersebut, ada beberapa pelajaran ataupun ibrah yang dapat kita ambil, diantaranya yaitu:
1.Nabi Musa As adalah laki-laki yang kuat fisik dan mentalnya

Kita dapat memahami betapa kuat dan perkasanya Nabi Musa As, dengan sekali pukulan saja beliau dapat membunuh seseorang. Coba kita lihat tidak ada seorang petinju profesionalpun yang dapat mengalahkan lawannya hanya dengan sekali pukulan saja melainkan membutuhkan beberapa pukulan beruntun untuk menumbangkan lawannya dan itupun tidak sampai mati.
Tapi kita harus yakin bahwa Musa bukanlah seorang pribadi yang anarkis. Ia sama sekali tidak punya niat membunh melainkan berusaha melerai perkelahian. Apalagi untuk melerai orang yang membabi buta memang memerlukan pukulan agar ia tersadar.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda haruslah memilki stamina yang kuat baik itu kuat fisik maupun kuat mental. Fisik yang kuat dan prima sangat penting bagi kita generasi muda karena kita mungkin dituntut untuk memiliki tenaga yang ekstra seperti :bekerja tanpa henti siang malam, dan tugas yang banyak yang perlu segera diselesaikan dan mungkin yang demikian itu akan lebih berat dari pada yang dilakukan Musa.
Kita harus menjaga stamina kita dengan rajin-rajin berolahraga, memperhatikan makanan yang akan kita makan serta beristirahat yang cukup. Jika hal itu sudah kita lakukan Insyaalah tubuh kita akan menjadi kuat dan perkasa. Tetapi fisik yang kuat harus kita manfaatkan untuk membela yang benar sebagaimana yang dilakukan Musa, jangan sampai tenaga kuat yang kita miliki kita gunakan untuk menindas yang lemah dari kita.
Selain fisik kita juga harus memiliki mental yang kuat agar permasalahan yang kita hadapi dapat kita selesaikan dengan baik. Kalau kita memiliki tenaga yang kuat tapi tidak mempunyai mental yang kuat maka hal itu tidak akan ada gunanya karena mental dan fisik merupakan dua hal yang saling berkaitan erat.
Buktinya, kalaulah Nabi Musa as hanya memiliki tenaga yang kuat tapi tidak mempunyai mental yang kuat mungkin dia tidak akan sanggup untuk membantu kaumya yang sedang berkelahi dan tidak akan mungkin dia bisa samapai membunuh lawannya hanya dengan sekali pukulan saja.
Dengan demikian, tenaga yang kuat harus kita lengkapi dengan mental yang kuat pula serta harus kita barengi dengan iman dan taqwa agar tenaga yang kita miliki bisa kita pergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat baik itu bagi kita maupun bagi orang lain.
2.Nabi Musa As selalu memohon ampun kepada allah setiap melakukan kesalahan
Sebagai seorang Muslim dan sebagai generasi muda tentu kita sering melakukan kesalahan dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, kita harus selalu memohon ampun kepada Allah setiap melakukan kesalahan. Kita harus mencontoh sikap Nabi Musa As yang memohon ampun kepada allah ketika dia berbuat dosa. Ketika dia dengan tidak sengaja telah membunuh seorang manusia, dia lansung menyesal dan memohon ampun kepada Allah SWT dan Allah pun mengampuninya karena Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat
3.Kita hendaklah selalu bersukur kepada Allah SWT
Betapa banyak nikmat yang telah diberikan oleh allah kepada kita,sehingga kalau kita mencoba untuk menghitung nikmatnya tersebut, mungkin kita tidak akan bisa untuk menghitungnya.Oleh karena itu kita harus mensyukuri nikmat allah ayang telah diberikannya itu, karena jika kita mensyukuri nikamat yang telah diberikanya kepada kita maka beliau akan menambahkan nikmat-Nya kepada kita tapi jika kita kufur maka sesungguhnya azab allah itu sangatlah pedih.
Sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Musa as, disaat dia diberi oleh allah nikmat maka dia bersyukur dan berterima kasih kepada allah atas nikmat yang begitu banyak diberikan allah kepadanya, mulai dari ia dilahirkan sampai kepada pengampunan allah atas dosanya yang dengan tidak sengaja telah membunuh seorang lawannya.

VI. Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim

Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-qur’an, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004

Yoli Hemdi, Tafsir Gaul, Bebas Masalah Cara Al-Qur’an, Sidoarjo: Kalil

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al_Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,2002

Ust.M.Hamid, Mutiara Kisah 25 Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an, Surabaya: CV.Karya Utama, 1997

http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno=1&SuratKe=28#Top

Selasa, 08 Juni 2010

Kunci Hidup Sukses

"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu..." (Q. S Ali Imran (3) : 160)

Bagaimana kita memahami pengertian hidup sukses? Dari mana harus memulainya ketika kita ingin segera diperjuangkan? Tampaknya tidak terlalu salah bila ada orang yang telah berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi, bahkan lulusan luar negeri, lalu menganggap dirinya orang sukses. Mungkin juga seseorang yang gagal dalam menempuh jalur pendidikan formal belasan tahun lalu, tetapi saat ini berani menepuk dada karena yakin bahwa dirinya telah mencapai sukses. Mengapa demikian? Karena, ia telah memilih dunia wirausaha, lalu berusaha keras tanpa mengenal lelah, sehingga mewujudlah segala buah jerih payahnya itu dalam belasan perusahaan besar yang menguntungkan.

Seorang ayah dihari tuanya tersenyum puas karena telah berhasil mengayuh bahtera rumah tangga yang tentram dan bahagia, sementara anak anaknya telah ia antar ke gerbang cakrawala keberhasilan hidup yang mandiri. Seorang kiai atau mubaligh juga berusaha mensyukuri kesuksesan hidupnya ketika jutaan umat telah menjadi jamaahnya yang setia dan telah menjadikannya sebagai panutan, sementara pesantrennya selalu dipenuh sesaki ribuan santri. Pendek kata, adalah hak setiap orang untuk menentukan sendiri dari sudut pandang mana ia melihat kesuksesan hidup. Akan tetapi, dari sudut pandang manakah seyogyanya seorang muslim dapat menilik dirinya sebagai orang yang telah meraih hidup sukses dalam urusan dunianya?

Membangun Fondasi

Kalau kita hendak membangun rumah, maka yang perlu terlebih dahulu dibuat dan diperkokoh adalah fondasinya. Karena, fondasi yang tidak kuat sudah dapat dipastikan akan membuat bangunan cepat ambruk kendati dinding dan atapnya dibuat sekuat dan sebagus apapun. Sering terjadi menimpa sebuah perusahaan, misalnya yang asalnya memiliki kinerja yang baik, sehingga maju pesat, tetapi ternyata ditengah jalan rontok. Padahal, perusahaan tersebut tinggal satu dua langkah lagi menjelang sukses. Mengapa bisa demikian? ternyata faktor penyebabnya adalah karena didalamnya merajalela ketidakjujuran, penipuan, intrik dan aneka kezhaliman lainnya.

Tak jarang pula terjadi sebuah keluarga tampak berhasil membina rumah tangga dan berkecukupan dalam hal materi. Sang suami sukses meniti karir dikantornya, sang isteri pandai bergaul ditengah masyarakat, sementara anak-anaknya pun berhasil menempuh jenjang studi hingga ke perguruan tinggi, bahkan yang sudah bekerjapun beroleh posisi yang bagus. Namun apa yang terjadi kemudian? Suatu ketika hancurlah keutuhan rumah tangganya itu karena beberapa faktor yang mungkin mental mereka tidak sempat dipersiapkan sejak sebelumnya untuk menghadapinya. Suami menjadi lupa diri karena harta, gelar, pangkat dan kedudukannya, sehingga tergelincir mengabaikan kesetiaannya kepada keluarga. Isteripun menjadi lupa akan posisinya sendiri, terjebak dalam prasangka, mudah iri terhadap sesamanya dan bahkan menjadi pendorong suami dalam berbagai perilaku licik dan curang. Anak-anakpun tidak lagi menemukan ketenangan karena sehari-hari menonton keteladanan yang buruk dan menyantap harta yang tidak berkah.

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merintis sesuatu secara baik? Alangkah indah dan mengesankan kalau kita meyakini satu hal, bahwa tiada kesuksesan yang sesungguhnya, kecuali kalau Allah Azza wa Jalla menolong segala urusan kita. Dengan kata lain apabila kita merindukan dapat meraih tangga kesuksesan, maka segala aspek yang berkaitan dengan dimensi sukses itu sendiri harus disandarkan pada satu prinsip, yakni sukses dengan dan karena pertolongan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan fondasi yang tidak bisa tidak harus diperkokoh sebelum kita membangun dan menegakkan mernara gading kesuksesan.

Sunnatullah dan Inayatullah

Terjadinya sesoang bisa mencapai sukses atau terhindar dari sesuatu yang tidak diharapkannya, ternyata amat bergantung pada dua hal yakni sunnatullah dan inayatullah. Sunatullah artinya sunnah-sunnah Allah yang mewujud berupa hukum alam yang terjadinya menghendaki proses sebab akibat, sehingga membuka peluang bagi perekayasaan oleh perbuatan manusia. Seorang mahasiswa ingin menyelesaikan studinya tepat waktu dan dengan predikat memuaskan. Keinginan itu bisa tercapai apabila ia bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam belajarnya, mempersiapkan fisik dan pikirannya dengan sebaik-baiknya, lalu meningkatkan kuantitas dan kualitas belajarnya sedemikian rupa, sehingga melebihi kadar dan cara belajar yang dilakukan rekan-rekannya.

Dalam konteks sunnatullah, sangat mungkin ia bisa meraih apa yang dicita-citakannya itu. Akan tetapi, ada bis yang terjatuh ke jurang dan menewaskan seluruh penumpangnya, tetapi seorang bayi selamat tanpa sedikitpun terluka.

Seorang anak kecil yang terjatuh dari gedung lantai ketujuh ternyata tidak apa-apa, padahal secara logika terjatuh dari lantai dua saja ia bisa tewas. Sebaliknya, mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh berikhtiar tadi, bisa saja gagal total hanya karena Allah menakdirkan ia sakit parah menjelang masa ujian akhir studinya, misalnya. Segala yang mustahil menurut akal manusia sama sekali tidak ada yang mustahil bila inayatullah atau pertolongan Allah telah turun.

Demikian pula kalau kita berbisnis hanya mengandalkan ikhtiar akal dan kemampuan saja, maka sangat mungkin akan beroleh sukses karena toh telah menetapi prasyarat sunnatullah. Akan tetapi, bukankah rencana manusia tidak mesti selalu sama dengan rencana Allah. Dan adakah manusia yang mengetahui persis apa yang menjadi rencana Nya atas manusia? Boleh saja kita berjuang habis-habisan karena dengan begitu orang kafirpun toh beroleh kesuksesan. Akan tetapi, kalau ternyata Dia menghendaki lain lantas kita mau apa? mau kecewa? kecewa sama sekali tidak mengubah apapun. Lagipula, kecewa yang timbul dihati tiada lain karena kita amat menginginkan rencana Allah itu selalu sama dengan rencana kita. Padahal Dialah penentu segala kejadian karena hanya Dia yang Maha Mengetahui hikmah dibalik segala kejadian.

Rekayasa Diri

Apa kuncinya? Kuncinya adalah kalau kita menginginkan hidup sukses di dunia, maka janganlah hanya sibuk merekayasa diri dan keadaan dalam rangka ikhtiar dhahir semata, tetapi juga rekayasalah diri kita supaya menjadi orang yang layak ditolong oleh Allah. Ikhtiar dhahir akan menghadapkan kita pada dua pilihan, yakni tercapainya apa yang kita dambakan - karena faktor sunnatullah tadi - namun juga tidak mustahil akan berujung pada kegagalan kalau Allah menghendaki lain. Lain halnya kalau ikhtiar dhahir itu diseiringkan dengan ikhtiar bathin. Mengawalinya dengan dasar niat yang benar dan ikhlas semata mata demi ibadah kepada Allah. Berikhtiar dengan cara yang benar, kesungguhan yang tinggi, ilmu yang tepat sesuai yang diperlukan, jujur, lurus, tidak suka menganiaya orang lain dan tidak mudah berputus asa. Senantiasa menggantungkan harap hanya kepada Nya semata, seraya menepis sama sekali dari berharap kepada makhluk. Memohon dengan segenap hati kepada Nya agar bisa sekiranya apa-apa yang tengah diikhtiarkan itu bisa membawa maslahat bagi dirinya mapun bagi orang lain, kiranya Dia berkenan menolong memudahkan segala urusan kita. Dan tidak lupa menyerahkan sepenuhnya segala hasil akhir kepada Dia Dzat Maha Penentu segala kejadian. Bila Allah sudah menolong, maka siapa yang bisa menghalangi pertolongan-Nya? Walaupun bergabung jin dan manusia untuk menghalangi pertolongan yang diturunkan Allah atas seorang hamba Nya sekali-kali tidak akan pernah terhalang karena Dia memang berkewajiban menolong hamba-hambaNya yang beriman.

"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan) maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal" (QS Ali Imran (3) : 160). (Sumber : http://www.masjid.or.id)